Penerapan Kalender Hijriyah dalam Aktivitas Keagamaan di Bojonegoro: Antara Tradisi dan Modernitas

Penerapan Kalender Hijriyah dalam Aktivitas Keagamaan di Bojonegoro: Antara Tradisi dan Modernitas

Bojonegoro, sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Timur, dikenal sebagai daerah yang memiliki kekayaan budaya dan keagamaan yang kental. Di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk, penerapan kalender Hijriyah tetap memegang peranan penting dalam berbagai aktivitas keagamaan dan sosial keislaman. Meski di tengah arus globalisasi dan modernisasi penggunaan kalender Masehi lebih dominan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Bojonegoro tetap menjadikan kalender Hijriyah sebagai penanda utama dalam menjalankan ibadah dan tradisi Islam.

Kalender Hijriyah, yang didasarkan pada peredaran bulan, digunakan oleh umat Islam di seluruh dunia untuk menentukan waktu-waktu ibadah, seperti puasa Ramadan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, serta kegiatan keagamaan lainnya seperti Maulid Nabi, Isra Mi’raj, dan Tahun Baru Islam. Di Bojonegoro, penerapan kalender ini bukan hanya bersifat simbolis, melainkan diimplementasikan secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Salah satu contohnya adalah penentuan awal Ramadan dan Idul Fitri yang selalu menjadi perhatian khusus. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro bekerja sama dengan Kantor Kementerian Agama setempat dan ormas-ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk menggelar rukyatul hilal (pengamatan bulan sabit) sebagai acuan penetapan awal bulan Hijriyah. Kegiatan ini tidak hanya berfungsi secara fungsional, tetapi juga menjadi sarana edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya pemahaman kalender Islam.

Selain itu, banyak masjid dan pesantren di falakiyah nu bojonegoro yang menyusun jadwal kegiatan keagamaannya berdasarkan kalender Hijriyah. Misalnya, pengajian rutin setiap tanggal 12 Rabiul Awal untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, atau tahlilan dan doa bersama setiap malam 1 Muharram. Aktivitas-aktivitas ini memperlihatkan betapa kalender Hijriyah masih menjadi bagian integral dari ritme sosial dan spiritual masyarakat.

Uniknya, di beberapa desa di Bojonegoro seperti Desa Sumbertlaseh dan Margomulyo, tradisi peringatan hari besar Islam yang menggunakan kalender Hijriyah juga dikombinasikan dengan unsur budaya lokal. Misalnya, perayaan 10 Muharram yang dikenal dengan sebutan “Asyura” dirayakan dengan membagikan bubur syura dan santunan kepada anak yatim. Ini adalah bentuk nyata dari akulturasi antara nilai-nilai Islam dan budaya Jawa yang tetap menjaga esensi ajaran namun dikemas dengan kearifan lokal.

Meskipun begitu, penerapan kalender Hijriyah di Bojonegoro masih menghadapi tantangan. Kurangnya literasi masyarakat tentang sistem penanggalan Hijriyah membuat sebagian orang hanya mengetahui tanggal-tanggal besar saja tanpa memahami konteksnya. Oleh karena itu, beberapa lembaga pendidikan Islam dan pesantren mulai mengintegrasikan materi tentang kalender Hijriyah dalam kurikulum mereka, agar generasi muda lebih mengenal dan menghargai warisan sistem penanggalan Islam ini.

Digitalisasi juga memainkan peran dalam pelestarian kalender Hijriyah. Saat ini, banyak masjid di Bojonegoro yang telah menggunakan aplikasi digital untuk menampilkan jadwal salat dan kalender Hijriyah secara otomatis. Ini menjadi salah satu bentuk modernisasi yang tidak meninggalkan akar tradisi.

Secara keseluruhan, penerapan kalender Hijriyah dalam aktivitas keagamaan di Bojonegoro mencerminkan harmoni antara ajaran Islam, budaya lokal, dan dinamika zaman. Dengan terus menjaga tradisi dan membuka diri terhadap inovasi, Bojonegoro menjadi contoh bagaimana kearifan lokal dan nilai keislaman bisa berjalan beriringan melalui pijakan kalender Hijriyah yang tetap lestari.

laholat824
ارسال دیدگاه